Berkaca dari kasus yang terjadi saat ini, semua bukan lantaran kurangnya seseorang dekat dan paham dengan agamanya tetapi semua terjadi karena adanya normalisasi terhadap perilaku yang menyimpang terutama konsep perilaku barat yang menganggap pacaran adalah hal biasa dan lumrah. Memang dasarnya manusia memiliki cinta, memiliki keinginan untuk menjalin romansa dengan mengenal satu sama lain. Tetapi apakah hubungan seks di luar nikah di benarkan karena orang tersebut adalah pacar sendiri yang notabenenya adalah hubungan tak tentu kejelasannya. Tidak ada istilah pacaran yang sesuai tuntunan agama bahkan dalam agama samawi manapun. Orang yang pernah pacaran zaman sekarang mayoritas dipertanyakan pernahkah melakukan sesuatu yang berujung lendir, terutama di kalangan remaja. Remaja zaman sekarang mudah menyembunyikan semua itu karena kegiatan lendir seperti ciuman, seks dan sebagainya adalah sebuah privasi yang tak bisa ketahuan baik oleh orang tua maupun keluarga terdekat mereka. Perilaku romansa yang berujung lendir membuat seorang remaja merasa dirinya dewasa, bagaimana untuk menghindari hal yang tidak di inginkan adalah mengatakan tidak untuk pacaran meski banyak konsep-konsep romansa yang berseliweran di beragam media. Jangan sampai segala hal yang menyangkut romansa berujung ke urusan lendir hingga membentuk namanya generasi baru yang di sebut insan hasil hubungan di luar pernikahan. Tidakkah sama dengan zaman kebodohan yang dulu pernah ada sebelumnya.
Beralih kepada kasus tindak lendir yang melibatkan oknum guru dan siswa lebih parah ketimbang kasus sebelumnya. Peluang seorang guru besar untuk memanipulasi kesadaran siswa. Memang guru juga manusia biasa namun jangan sampai seorang guru membuang kemuliaannya hanya karena dia manusia biasa yang ingin menyalurkan keinginan hewani terhadap orang di didiknya. Seperti kata pepatah, karena setitik nila rusak susu sebelanga. Marwah kemuliaan guru telah hancur di mata masyarakat karena kasus ini, sekolah sebagai lembaga pendidikan di anggap remeh. Dari kasus kelam tersebut dunia sudah menunjukan sisi lendir dalam pendidikan. Memang hukuman pidana biasa dapat di tindak kepada pelaku yang di sebut oknum, namun multiplayer effect dari sebuah perilaku lendir dunia pendidikan akan selalu di waspadai dan di awasi. Upaya prefentif pencegahan sebenarnya perlu tidak hanya tindakan hukuman belaka kepada pelaku. Sekarang apa gunanya kode etik seorang guru kalau itu masih terjadi. Perlu bagi seorang guru merenungi kembali profesinya, kepribadiannya untuk apa, kerik lendir dunia pendidikan ini kalau bisa karena merupakan aib memalukan bagi dunia pendidikan.
No comments:
Post a Comment