Search This Blog

Friday, November 6, 2020

Menuju Kebebasan Hati dan Finansial

Sebuah renungan menuju akhir tahun 2020, tahun yang berkesan berbeda karena seluruh dunia dilanda pandemi Virus Corona yang bisa disebut sebagai pandemi COVID-19. Tahun ini secara pribadi saya mengalami beragam kejatuhan seperti mengakhiri kuliah S1 di Pendidikan Olahraga, mengajar secara Online (Daring) namun di balik kejatuhan saya memulai berinvestasi menuju kebebasan finansial. Seorang bijak pernah mengatakan "lepaskanlah semua kebencian dan kecintaan, hanya itu latihan yang kulakukan setiap hari". Saya sudah melakukannya dan semua itu memang terbukti, jalan kehidupan yang saya tempuh semuanya membuat sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Mengingat kembali di awal tahun, sambil menutup mata dan berpikir dalam ketenangan dan kedamaian saya merasakan bahwa hari-hari yang telah dilalui seperti sekejap mata. Memang waktu laksana pedang yang tajam, dia mampu membunuhmu dengan sebuah kepastian dari kehidupan meski kau berencana bagaimanapun yaitu kematian. Hal yang paling dekat dalam hidup sedangkan masa depan tetap jauh di depan mata. Namun, selama nafas masih berhembus walau bayangan kepastian tentang itu terus ada, tidak ada salahnya merencanakan dan mengupayakan peta kehidupan. Jatuh adalah hal yang biasa dalam kehidupan di tambah perilaku-perilaku kehidupan sesama makhluk yang mampu menghasilkan sebuah kecintaan dan kebencian, betapa lengkapnya seni kehidupan ini. Dalam latihan ini, hasilnya adalah sebuah kebijaksanaan dalam menyikapi kehidupan.

Tak ada cinta, tak ada benci hasilnya hanyalah niat baik dalam nurani. Saya percaya dan mengerti apa yang akan dihasilkan suatu saat nanti adalah sebuah hal kecil yang mampu menggetarkan kehidupan ini. Itulah yang akan dituju untuk sebuah kebebasan hati. Orang yang memiliki kebebasan hati bukan hanya menemukan kedamaian dan ketenangan dalam hidupnya, bahkan hingga kematiannya pasti. Rasa syukur, mengatakannya sungguh mudah tetapi menjalaninya perlu latihan yang mantap dalam melepas dengan apa yang dinamakan kebencian dan kecintaan.

Demi meraih sebuah kebebasan finansial, saya mulai belajar untuk menyisihkan penghasilan dengan membuang aspek kehidupan yang dinamakan kehendak. Secara ekonomi sebagai manusia, pertama saya sendiri menyadari bahwa kebutuhan adalah yang pasti, keinginan adalah sampingan dan sumber dayanya terbatas. Oleh karena itu perlu disederhanakan lagi meski dibalik terbatasnya sumber daya hidup kita harus mampu memiliki asset produktif agar apa yang dinamakan kebebasan finansial tercapai. Ini bukan tentang berapa banyak penghasilan yang di peroleh, ini adalah tentang bagaimana mengelola penghasilan yang diperoleh agar tercipta kebebasan finansial kelak.

Apa hubungan antara kebebasan hati dan finansial? Semua itu berhubungan dengan kesederhanaan hidup. Banyak orang yang bepenghasilan tinggi di akhir masa pensiunnya banyak membanggakan kejayaannya, namun pada akhir hidupnya ditemani dengan kemiskinan. Ada orang yang terus-menerus hidup demi uang tanpa memperdulikan kesehatannya, setelah jatuh sakit dia habiskan uang yang dihasilkan hanya untuk kesehatannya. Seorang karyawan karena memiliki penghasilan tinggi mengajukan kredit untuk beragam aset yang tidak produktif dengan membayar beragam tagihan kredit hampir menutupi penghasilannya dengan masa yang panjang lamanya hingga dia lupa akan hari tuanya.

Beragam kisah tersebut hanyalah sebagian kecil dari cerita kejatuhan tanpa ada niat kebangkitan. Dengan kecintaan terhadap uang manusia menjadi tamak, ketakutan akan kejatuhan (gengsi) membuat manusia melakukan beragam cara termasuk membuang kebebasan mereka secara finansial dengan bekerja keras dengan hasil yang hampa. Sebagai langkah awal menuju kebebasan finansial kita perlu memahami dulu bagaimana kebebasan hati. Membuang rasa gengsi dengan merencanakan sesuatu yang pasti, menyisihkan keinginan membuang penghasilan hanya untuk berfoya-foya.

Saya sering bertanya kepada banyak orang tentang bagaimana seandainya anda memiliki uang 100 juta rupiah, mayoritas dalam pikiran mereka adalah membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan dalam kehidupan ini dalam artian sebuah kebiasaan yang konsumtif, jarang ada orang yang menjawab mendayagunakannya untuk hal produktif seperti berinvestasi agar saya tidak perlu bekerja terlalu keras untuk uang dan membiarkan uang itu bekerja untuk saya. Akhirnya menjelang akhir tahun 2020 ini saya sudah mengerti tentang pola pikir kebanyakan orang, maka saya harus melawan pola pikir kebanyakan itu yaitu sebuah pola pikir konsumtif. Kesimpulannya dengan kebebasan hati ini, berpola pikirlah yang produktif agar mampu melawan arus orang banyak.